INI BUKAN KISAH KARTINI ATAUPUN
SRIKANDI. PENUH DENGAN ELEGI DAN PERJUANGAN. TAPI DIA BENAR-BENAR HIDUP,
BERPERAN GANDA SEBAGAI KARTINI DAN SRIKANDI. TERSERAH KAU MENYEBUTNYA APA TAPI
DIA BENAR-BENAR ADA.
Tak ada yang mengenal dia, kecuali
sepenggal sejarah sukses yang pernah dia ukir dan hidup dalam beberapa ingatan
orang-orang terdahulu yang tak pernah ditulis dengan tinta emas. Maka jika ada
badai besar yang menenggelamkan orang-orang terdahulu itu, hilanglah semua
sejarah tentangnya. Dan orang-orang yang hidup setelahnya tak ada sama sekali
yang mengenalnya bahkan mungkin tak akan kenal namanya.
Dia sadar akan hal itu. Tapi dia hidup
bukan hanya untuk sebuah nama abadi. Dia hidup untuk dirinya. Dia hanya hidup
untuk dirinya. Dia tak peduli akan ada orang yang mengenalnya atau tidak.
Bahkan dia tak ingin dikenang seseorang karena dia tak ingin ada seseorang yang
mengingat betapa hidupnya penuh dengan tetesan-tetesan perjuangan keras yang
tercipta dari peluh dan air mata.
Dia bukan orang luar biasa. Dia bukan
orang super. Dia hanya manusia biasa, hanya seorang manusia biasa. Tapi, dia
punya mimpi. Dia seorang pemimpi. Tak ada yang percaya dengan mimpi-mimpinya.
Tak ada. Hingga suatu hari salah satu mimpi besarnya terjadi, dan barulah
orang-orang mengangguk-angguk percaya bahwa batas antara dunia mimpi dan nyata sangatlah
tipis.
Dia pikir semua telah berakhir, bertemu
dalam keindahan. Tapi tidaklah demikian. Semua belum berakhir dalam keindahan.
Semua masih gelap, dan malam-malamnya belum berakhir.
Timbul rasa takut dalam hatinya. Tapi
dia sadar bahwa jika menyerah saat ini, orang-orang yang ingin dia perlihatkan
kebenaran antara tipisnya batas itu akan menyerah dan menutup matanya kembali.
Di sisi lain dia telah kehabisan tenaga. Dia tak sanggup membuat dirinya selalu
sanggup berdiri tegak. Ya karena dia hanya manusia biasa.
Jika Tuhan memberikan sedikit keunggulan
pada dirinya, itu bukanlah hal yang harus dibanggakan meski itu sangat
membanggakan. Tapi yang sedikit itu membuatnya makin kalang kabut. Dia terlalu
kecil untuk mengemban amanah sebesar itu. Raganya capek, jiwanya lelah. Dia
cukup letih terombang-ambing dalam dua dunia yang sama sekali berbeda. Dunia
yang tak semua orang mengerti dan paham keberadaannya.
Dalam sedikit kegalauan hatinya, ia
ingin sekali menerima amanah itu. Berbahagia dengan sedikit keunggulan itu.
Tapi ketika dia tersadar bahwa hidupnya tak seharusnya seperti itu, dia sedikit
ragu membawa keunggulan itu. Karena satu hal, dia tak ingin mengecewakan.
Satu masalah terbesarnya ialah, ia takut
dan sangat takut membuat orang-orang di sekitarnya menangis. Dia tak sanggup!
Ketakutannya itu membuahkan ketakutan yang lain hingga langkahnya semakin pelan
dan pelan. Hingga suatu ketika dia putus asa dan berhenti. Dia salah mencari
tempat pemberhentian. Di sana dia hanya melihat kesuraman. Hanya padang gersang
dihuni orang-orang yang sangat mudah mengakhiri harapannya. Dihuni pepohonan
kering yang tak sanggup membuatnya rindang dan menjadi peneduh. Dia salah
memilih tempat.
Di tempat itu dia belajar keputus-asaan.
Dia tak mengerti bahwa tempat yang ia kira memberinya kedamaian itu sesungguhnya
hanya membuatnya makin lemah dan lemah. Dia tak sadar.
Hingga suatu hari ketika Tuhan membuka
matanya kembali, barulah dia tahu bahwa dia tengah tersesat sangat lama dan
begitu jauh. Dia mulai berdoa pada Tuhannya agar dikembalikan lagi ke tempat
semula. Tapi Tuhannya sungguh Pemurah, karena DIa tak akan mengajarinya menjadi
orang ceroboh dan manja yang dalam sekejab saja setalah melakukan kesalahan
lalu merengek meminta dikembalikan lagi ke tempat semula.
Tuhannya mengajarinya menjadi orang yang
kuat. Dia menyuruhnya untuk terus berjalan ke depan, seberapapun terjal
jalannya itu. Tuhannya memberitahunya tentang arti tanggung jawab. Dia harus
hidup dengan baik pada hari ini untuk menghapus keburukan di masa lalunya.
Dia kebingungan. Merasa Tuhannya
memberinya beban berat. Dia berpikir pasti ada jalan lebih mudah. Bukankah jika
Tuhannya mengatakan “iya” maka semua akan indah seperti semula? Dia hanya butuh
satu kata persetujuan dari Tuhannya.
Kembali dia berjalan di tengah
keterjalan. Dia tahu tak semudah itu ia dapatkan persetujuan. Dia tahu dia
harus bekerja keras dahulu untuk menunjukkan bahwa dirinya pantas. Pantas untuk
dapatkan persetujuan itu.
Dan dia mencoba melihat apa yang
terjadi. Mencari letak kesalahan yang ia perbuat untuk dia perbaiki. Memperbaiki
semuanya dan menemukan arti dirinya selama ini. Mungkin dengan begitu dia akan
dapatkan persetujuan dari Tuhannya.
0 komentar:
Posting Komentar