Terhenyak olehku menyaksikan
kisah nyata hidup manusia yang cukup membuatku nyengir. Betapa tidak, kisah ini
seharusnya tak perlu terjadi jika diantara manusia-manusia yang ada bisa saling
bersinergi membentuk kehidupan ideal yang penuh dengan damai dan bahagia. Tapi
rupa-rupanya tidak banyak yang menyadari bahwa hal itu penting. Mungkin ini
sebenarnya banyak terjadi dalam masyarakat kita.
Mungkin pendapat yang saya
kemukakan akan bisa Anda setujui atau tidak karena masing-masing manusia
memiliki pendapat berbeda.
Miris sekali menyaksikan
kehidupan yang semakin tidak jelas ini. Dampak kemiskinan tidak hanya membawa
kesusahan lahiriah namun kondisi kejiwaan masyarkat sebenarnya pelu
diperhatikan.
Saya menyaksikan sendiri pada
suatu pagi seorang anak laki-laki kira-kira berusia 13 tahunan dimarahi
habis-habisan oleh ibunya gara-gara ia memakan lauk yang oleh ibunya disediakan
untuk ayahnya. Bukan hanya itu, si ibu melempar piring hingga piring pecah di
lantai. Bukan cuma itu, kemarahan yang meledak-ledak itu diiringi kata-kata
pedas yang menyayat hati. Sedikit kutipannya,
“Kamu keterlaluan, lauk ini untuk ayah kamu. Ibu bela-belain tidak makan biar lauk ini bisa dimakan ayahmu. Dahulukan yang bekerja!”
Apa yang terbesit di pikiran Anda
ketika mendengarnya?
Saya sangat sedih mendengarnya.
Betapa kemiskinan membawa pengaruh buruk di berbagai lini. Saya akan kemukakan
pendapat saya satu persatu.
Pertama, saya detik itu juga
merasa bersyukur kepada ALLAH SWT karena memberikan keluarga luar biasa,
sempurna. Meski tidak sesempurna yang semestinya tapi saya merasa damai. Ayah
saya seorang yang menyayangi anak-anaknya. Pernah ekonomi keluarga saya
terhimpit sehingga harus makan seadanya. Tapi saat demikian, ayah saya tidak
pernah meminta lauk khusus yang hanya boleh dimakan oleh beliau karena beliau
yang bekerja. Beliau makan lauk yang sama dengan kami. Yang namanya istri pasti
ingin melayani suaminya dengan yang terbaik, oleh karenanya ibu kami juga
pernah mengkhususkan menyediakan lauk untuk ayah yang spesial. Dan ketika kami
melakukan kesalahan dengan memakan lauk itu, ibu kami tidak marah. Beliau hanya
menasihati kami dengan suara pelan, lembut, dan mendamaikan. Dan Anda tahu
bagaimana reaksi ayah saya? Ayah saya malah mendahulukan kami. Ayah lebih senang
jika lauk spesial itu untuk kami. Beliau berdua lebih memilih makan makanan
biasa dan memberikan makanan spesial untuk kami. Syukur Alhamdulillah. Itulah
cara orang tua saya membesarkan saya dan menjadikan saya orang yang berempati
kepada orang lain.
Bagaimana dengan kisah tadi?
Sangat miris ternyata, betapa
ayah anak laki-laki itu kurang bijaksana. Seandainya memang tidak cukup untuk
membeli lauk spesial, seyogyanya tidak perlu memaksakan hingga terbelilah lauk
itu tapi hanya cukup untuk dirinya sedangkan istri dan anaknya hanya makan
dengan lauk sederhana. Kalau saya jadi orang tersebut, pasti tidak sanggup makan, karena melihat keluarga
saya tidak bisa makan yang saya makan! Tapi dia? Astagfirullah.
Berikutnya, si ibu memarahi anaknya
karena dia sudah berkorban dengan tidak makan apa-apa demi membahagiakan si
suami karena suaminyalah yang mencari nafkah. Mulia sekali istri yang demikian.
Tapi mengapa sampai marah-marah seperti itu? Itu karena kejiwaan si istri. Anda
mengerti maksud saya?
Begini, tentulah sebelumnya sudah
ada kejadian yang serupa yang menjadikannya demikian. Saya pastikan bahwa
sebelumnya terjadi hal serupa dimana ketika lauk yang diinginkan si suami sudah
habis sebelum dinikmati si suami itu dan dia marah-marah kepada istri atau
melakukan tindakan tertentu yang menjadikan si istri takut dan jera sehingga
tidak ingin mengalaminya lagi. Ini yang biasa kita kenal dengan “trauma”. Itu
menjadikan “pukulan jiwa” luar biasa bagi si istri.
Bagaimana dengan si anak
laki-laki itu? Kalau menurut saya, anak seumuran dia memang belum peka perasaannya
atau bisa dibilang belum sanggup memahami keadaan yang ada yang mengharuskan ia
mampu bersikap sesuai dengan yang dipikirkan orang tuanya. Dengan melihat lauk
spesial yang berbeda dengan menu untuknya tentunya ia tergiur untuk memakannya.
Lagipula, bukankah orang tua berjuang sedemikian keras memang untuk
anak-anaknya?? Kalau sudah seperti ini, untuk apa perjuangan itu jika anaknya
tidak dapat menikamti hasil kerja keras orang tuanya malahan sejak kecil sudah terbiasa dengan ketidakadilan dalam rumahnya?
Anak dididik di rumah sebagai
tempat pembelajaran utama. Jika anak terbiasa berada dalam lingkungan yang salah
maka ia akan terbentuk menjadi pribadi yang serupa dengan lingkungannya. Jika
keadaan ini terus berlanjut maka si anak akan tumbuh menjadi anak yang kurang
mampu berempati, anak egois, anak kasar, dan berbuat tidak adil di kemudian hari. Bukankah
kejadian tadi menunjukkan pendidikan yang demikian?
Sungguh miris kehidupan masyarakat
sekarang. Saya yakin orang-orang yang memiliki keadaan yang mirip seperti tadi
hanya berpikir untuk memiliki uang dan bisa mencukupi kehidupan sehari-hari
saja. Mereka bahkan tidak peka bahwa sesungguhnya ada masalah kejiwaan serius
yang harus segera diobati. Mereka membiarkan begitu saja keadaan demikian tanpa
berpikir apa yang akan terjadi di masa mendatang pada anak-anaknya.
Sobat, beruntunglah Anda yang mau
berpikir dan mau introspeksi diri dengan belajar pada kondisi orang lain.
Beruntunglah Anda yang mau merasakan betapa ada banyak hal yang harus kita
perhatikan agar kehidupan kita bisa menjadi lebih baik. Oleh karenanya mari, saya
mengajak Anda sekalian untuk berpikir ulang tentang kehidupan kita. Sudahkah
kita menjadi bagian orang-orang yang “paham”?
0 komentar:
Posting Komentar